Senin, 28 Mei 2018

MASA LALU AKU,


Aku mebuka-buka tulisan sampah di laptopku. Ada beberapa yang sudah menahun, kutulis lima sampai delapan tahun lalu. Ketika obsesiku menjadi penulis masih luar biasa. Beberapa tulisan tampak frustasi, sebagian besar tentang kehidupan pecandu narkoba, padahal demi tuhan aku tak pernah menyentuhnya. Lalu.. tentang perempuan hamil dan ditinggalkan oleh pacarnya menikah dengan orang lain, haha.. aku menertawakan bagaimana kesedihan masa lalu yang sedang trend menurutku. Beberapa tulisan tampak bagus, aku tak percaya jika perempuan berusia enam belas tahun yang menulisnya. Iya memang, aku sudah menulis sejak berusia sepuluh tahun.

Aku membuka apa apa saja yang tak pernah kuselesaikan namun tempat kutimbun seperti sampah di dalam kepala dan laptopku. Ingin menyelesaikannya? Tentu saja. Tapi aku seperti kehabisan waktu. Entah.. Aku seperti terlalu sibuk dengan entah apa yang menyibukkan.

Kucoba, kembali.. entah apakah bisa.

TIK tanpa TOK



Tik tok tik tok

Detik dimulai,
Mendekatlah Sophia. Tatap mataku. Rasakan kesendirianku. Lihat. Aku begitu kosong tanpamu. Jauh dan lunglai tanpa pelukanmu. Mendekatlah Sophia. Peluk aku. Aku saja jangan yang lain. Aku takut kehilanganmu Sophia. Aku takut jika aku kembali merasakan kekosongan yang menyakitkan.

Tiiikk…Toookk..Toook

Detik melambat. Kau tak mau menatapku. Hatiku terasa remuk tak berdaya. Waktu seolah terhenti. Hanyut dan larut dalam kesedihanku.
            “Sophiaa! Tatap mataku!” Aku membentak.
Tapi kau. Kau tetap dengan mata kosongmu itu. Mata kosong yang aku benci. Mata yang didalamnya tak ada sosok diriku lagi. Sophia! Kemana dirimu? Kemana dirimu yang DULU.

Tii…iiikk…Too okkk

Detik semakin kehilangan irama indahnya. Sophia kini merengkuh. Lunglai. Matanya kosong. Bibirnya menggigil. Sophia Takut? Tidak. Sebenarnya aku merasa sangat marah karena Sophia tak lagi mau menatapku. Tapi melihat Sophia seperti ini, hatiku runtuh.
“So..phiaa..” aku mencoba mengejah namanya.
Kuharap ia akan menatapku kali ini. Tapi tidak. Aku salah. Sophia tetap membisu dan air mataku mulai mencair.

Tik Tik Tik Tik Tik..

Detik seperti berjalan mundur. Aku terseret ke memori dulu. Ketika aku dan Sophia tertawa lepas mengitari jalan berkelok.
            “Aku suka tantangan” Kata Sophia.
Aku hanya tersenyum. Lalu Sophia menarik tanganku.
            “Mari ikut denganku..” Ajak Sophia.
            “Baiklah. Tapi, aku takut..” Jawabku.
            “Jangan takut. Aku yang akan memelukmu jika sesuatu menakutimu.”
Aku tersenyum.
            “Kau berjanji Sophia?”
            “Tentu”

Tiik Tookk Tiiikk Tok tok

Sophia. Sophia. Sophia. Nama yang indah bukan? Aku mencintaimu Sophia. Aku akan memberikan segalanya padamu asal kau tetap bersamaku. Asal kau tak menoleh pada yang lain. Asal kau tetap bersamaku SELAMANYA.
            Maafkan aku Sophia. Aku egois. Aku tak sanggup membagimu dengan yang lain. Aku takut membayangkan api cemburu yang akan melahapku hidup-hidup.

Tiii…..iiikk Tooo…ookk

Kini detik menyisakan waktu untuk aku merasa sedih. Kali ini hatiku benar-benar runtuh. Ketakutanku menjadi. Api cemburu itu benar-benar melahapku hidup-hidup. Ada lelaki yang akan meletakkan hatinya di hati Sophia. Padahal aku tak sanggup membagi Sophia dengan yang lain. Tapi jika aku dan Sophia bersama, aku yakin orang tua Sophia tak akan pernah bisa mengerti. Aku dan Sophia tak mungkin bersama.
            “Pergilah Sophia. Menikahlah dengan lelaki itu. Kelak kau akan memiliki anak-anak yang lucu. Dan jika salah satunya perempuan. Tentu ia akan secantik kau Sophia..”
Sophia memelukku. Membiarkan air mataku menganak sungai di bahunya.

Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok

Detik melangkah penuh ketakutan. Hari ini pernikahan Sophia. Aku mengumpulkan seluruh tenaga untuk berdiri di hadapan Sophia. Aku ingin melihat Sophia tercantik dalam hidupku. Sophia yang menggenakan gaun pengantin. Sophia yang lebih cantik dari malaikat..
            Waktu yang dinanti tiba. Perempuan cantik itu keluar dari peraduannya. Kecantikannya menebar ke segala arah. Semua mata memandangnya. Semua terpukau. Mereka bahagia. Sementara aku merasa sedih. Bukan hanya aku saja. Sophia juga merasa sedih.
Tak lama kemudian, lelaki itu bersanding dengan Sophia. Seperti raja dan ratu. Aku berusaha tersenyum. Tapi aku gagal. Air mataku meluber kemana mana. Beberapa orang disampingku menyadarinya. Aku ingin lari dan membawa Sophia pergi jauh dari tempat ini.Tapi itu tidak mungkin.
Sophia sayang, tahukah kau jika hatiku remuk ketika kau bersanding dengan lelaki itu? Aku seperti kehilangan nyawa. Aku kehilangan dirimu Sophia. Karena kau lah nyawa di dalam jiwaku.

Tikkk.. Hanya Tikk...

Detik kehilangan kesempurnaanya. Bunyinya hanya “tik” tanpa “tok”. Seperti aku tanpa Sophia.
Sophia. Sophia. Sophia. Semoga kau bahagia. Dimanapun kau berada nanti, bersama siapapun. Aku harap kau dapat selalu tersenyum dan bahagia. Ini berat Sophia. Melihatmu menikah sama seperti melihat seseorang merobek jantungku. Kemudian darah mengucur deras. Dan setiap tetesnya menangisi kepergianmu.
Aku tak ingin lagi berada disini. Aku lelah bermuka seolah semua baik-baik saja. Aku ingin menangis. Aku ingin menjatuhkan puluhan butiran asin di pipiku.
Aku beranjak dari gedung pernikahanmu Sophia. Kuharap kau tak melihat ketika aku meninggalkan tempat itu. Aku hanya ingin sendiri. Menyusuri jalan, yang selanjutnya akan terasa sepi tanpa kehadiranmu.
Aku terus melangkah gontai hingga ke persimpangan jalan raya. Aku ringkih Sophia. Aku membutuhkan pelukanmu sekarang. Tapi aku tahu, kau tak akan pernah memelukku lagi. Aku tetap melangkah namun sesuatu menghantamku dengan sangat keras. Sebuah truk bermuatan material menghantam tubuhku. Menimbulkan suara denyit rem yang diikuti dengan dentuman keras. Membuat tubuhku yang ringkih terpental cukup jauh. Kepalaku membentur aspal dengan sangat keras. Aku kehilangan nyawaku Sophia. Kemudian semua tamu pernikahanmu menatap ke arahku. Ada yang berlari menuju ragaku yang tergeletak di sisi jalan. Namun ada pula yang hanya terpaku di tempatnya. Sementara matamu menjelajah ke segala arah. Aku tahu apa yang kau cari. Kau mencariku Sophia? Raut cantikmu mulai panik ketika kau tak menjumpai wajahku di sudut manapun. Kau berlari. Menembus kerumunan orang-orang yang ada di hadapanmu. Kau menghampiri jasadku. Bibirmu bergetar. Dan ketika seseorang mencoba membuka koran yang menutupi kepalaku. Kau menemukan wajah yang kau cari Sophia. Jasad Itu aku. Kekasih yang selamanya hidup di hatimu.

Tok.. Tanpa Tik
 
Apa kabar Sophia? Masihkah kau menyimpan kenanganmu bersamaku di hatimu? Masihkah kau menyimpan tawa seperti saat kita melalui jalan berliku? Tuhan baru saja menceritakan aku tentang kematianku. Aku merasa takut. Tapi tuhan bilang, semuanya telah berlalu. Tuhan juga mengatakan padaku, jika kau bukan tak mau menatapku. Tapi kau tak mampu.

Ketika aku tak lagi ada di sampingmu,
kau akan tahu. Betapa aku mencintaimu.
Cinta yang tak pernah takhluk dengan keadaan.
Cinta yang selamanya ada di hatimu dan hatiku.
Clara. Sophia. 

MARTIN (My baby)


MARTIN
                Selamat pagi sayang. Apa yang sedang kau lakukan disana? Sudahkah pagi ini tuhan memberikanmu kekuatan untuk bergerak-gerak seperti kemarin? Aku harap tuhan segera memberikannya. Sebab, aku ingin segera merasakan kehidupanmu didalam tubuhku. Di rahimku.
                Kau adalah teman mungilku. Sahabat yang sebentar lagi akan menemani hidupku. Ku sebut kau sahabat. Sebab kau sangat baik padaku. Kau selalu ada disampingku. Disaat semua orang hanya bisa memaki dan meninggalkanku. Kau satu-satunya yang paling setia. Kau satu-satunya yang tak pernah memaki. Karna itu, aku sebut kau sahabat.
                Cepatlah keluar dari rahimku Martin. Aku ingin segera menunjukkanmu tentag birunya langit. Terangnya bintang. Dan segala sesuatu yang akan kau lihat nanti. Tapi tunggu,  apakah aku bercerita terlalu cepat? Sepertinya aku lupa memberitahumu tentang calon bayiku. Namanya Martin. Entah ia lelaki atau perempuan kelak akan ku panggil dia Martin. Martin. Ia adalah bayi yang sangat istimewa. Bayi yang menjadi menjadi separuh jiwaku. Bayi yang akan akan mendampingiku hingga kematian menjemputku.
                Aku selalu menunggu kelahiranmu sayang. Cepatlah kau temani ibumu yang sendiri ini. Lalu perutku bergerak-gerak. Aku tersenyum menyeringai. Kuanggap itu sebagai jawaban iya Martin,
                Tiba-tiba suara dari luar kamar mengusik telingaku,
                “Hy Mutia! Cepatlah kau gugurkan bayi itu! Sebelum ia makin besar, makin menyusahkan kita semua!”
Aku hanya diam mendengar ucapan ibuku.
                “Kau tuli? tak bisa kau dengar apa yang ibu kau katakan? Cepat gugurkan bayi itu lalu kau pindah ke jakarta dan lanjutkan sekolahmu di tempat pamanmu!”
Aku masih membisu. Menelan semua kesedihan dalam rongga mulutku. Ibu menyuruhku untuk membunuhmu sayang. Kuharap kau tak mendengarnya. Aku yakin air matamu meluber jika kau tahu apa yang terjadi di luar sini. Jangan menangis Martin. Aku tak akan melukaimu. Aku tak akan membiarkan seorangpun menyakitimu.
                “Mutia! Janganlah kau keras kepala. Kau tak punya suami! Kalau sampai bayimu itu lahir siapa yang akan menghidupi? Makan saja kau masih minta. Ijazah juga kau masih tamatan SMP. Mau kau kasih makan apa bayi kau itu?”
Ibu terus saja menyuruhku melakukan hal yang sama. Menggugurkan Martin. Aku tak mungkin melakukannya. Aku sangat mencintai Martin. Lebih baik aku yang mati daripada aku harus membuat Martin mati.
                “Mutia! Mutia!” Ibu menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku membukanya. Aku menjumpai tatapan ibu yang cemas dan marah.
                “Cepat Kau gugurkan bayi di perutmu itu!” Ucap Ibu tanpa belas kasih.
Air mataku mencair. Aku tak menyangka bila Ibu masih bersikeras juga untuk membunuh cucunya. Membunuh bayiku, Martin.
                “Tidak Bu!” Jawabku. Kali ini aku memberanikan diri untuk menatap mata Ibu yang sangat marah padaku.
                “Kenapa? Kau siap punya anak tapi tak ada bapaknya?”
                “Aku siap Bu, Aku tidak menggugurkan Martin, karena aku mencintai Martin.”
                “Cinta apa? Cinta yang menyusahkan hidupmu? Kalau kau punya anak di usia kau yang masih seumur jagung begini. Pastilah kau jadi Kere! Jadi gembel yang hidupnya susah!”
                “Hidup seseorang tak bisa diramal siapapun. Semua di tentukan Tuhan.”
                “Jangan sok suci kau sebut-sebut Tuhan kau! Kau saja hina dimata Tuhan!”
                “Apakah yang boleh menyebut Tuhan hanya orang suci? Apakah orang hina tidak boleh meyebut Tuhan?”
Air mataku menetes. Membasahi pipi yang lebam bekas tamparan ayah semalam.
                “Pandai kau sekarang bicara? Mau kau ditampar Ayahmu lagi? Mau kau mati bonyok digebukin orang tuamu sendiri? Sudah! Lekaslah bersiap! Lalu kau ikut ibu ke tempat yang bisa bikin perut buncit kau itu kempes!”
                “Tidak Bu! Aku tak akan menggugurkan Martin! Apapun alasannya tetap tidak. Aku lebih rela mati dari pada aku harus membunuh Martin!”
                “Keras kepala sekali kau! Cepatlah kau gugurkan! Mumpung perut kau itu masih tiga bulan!”
Aku menatap wajah ibu. Perlahan raut senduku memudar. Kini berganti menjadi senyum.
                “Apa ibu bilang? Tiga bulan? Ibu salah, Martin bukan tiga bulan di dalam perutku. Tapi enam bulan. Satu bulan lagi, Martin bisa lahir sebagai bayi prematur. Dan empat bulan lagi Martin akan lahir sebagai bayi normal. Bila Ibu masih bersikeras untuk menyuruhku menggugurkan Martin. Bukan Martin yang akan mati Bu, Tapi aku.”
Ibu kehilangan kata. Wajahnya memucat. Aku yakin di otak Ibu tengah berlarian sejuta kebingungan. Ibu tidak menginginkan kelahiran Martin. Tapi ibu juga tak sanggup merelakan jika sampai aku kehilangan nyawa ketika menggugurkan Martin.
                “Semua Ibu tak akan pernah rela anaknya mati. Seperti ibu tak merelakan kematianku. Dan aku yang tak merelakan kematian Martin.”

Rabu, 23 Mei 2018

RUMAH

Bagian 1

Ditemani dengan mie instan super lembek ku kali ini, masih dengan cerita aneh yang kali ini benar benar tak dapat ku mengerti. Apa maksud dibalik semua ini. Apa hikmahnya?

Sedih. Kacau. Bingung.  Allah tuhanku, yang benar saja aku harus tinggal berdekatan dengan tukang jagal itu. Dia sangat jahat. Masih lupa apa yang dia lakukan padaku dan clara dulu? Ingat saat clara diperutku dan aku tak berhenti menangis karenanya. Dia memotong tali plasenta Clara. Clara tidak bisa bernafas bahkan sesak. Clara tak bisa makan dan minum berhari hari. Clara bersedih. Lalu tukang jagal itu tak perduli. Justru aku yang disalahkannya. Katanya aku tak bisa menjaga Clara.  Padahal siang malam aku mendoakannya. Agar sedikit saja darah darinya yang mengalir untuk Clara. Aku benci tukang jagal itu. Demi tuhan, aku benci. 

Sudah. Aku sudah lelah menceritakan kejahatannya. Tanpa aku bilangpun rasanya Danu sudah mengerti. Siapa Danu? Siapa tukang jagal itu? Kujelaskan nanti. Aku benci mengakuinya. 

Tuhan tau, aku perempuan yang baik. Hanya saja jika sekali orang menyakiti aku bisa mengeras seperti batu selamanya. Padanya. Entah.. Aku tak mengerti. Kenapa.. Aku dan Clara hanya tinggal sepetak berjarak dari tukang jagal itu? Tuhan.. Apakah aku harus menghabiskan seumur hidup bersedih dan ketakutan? Clara menghiburku, tersenyum. Bicara panjang lebar yang intinya dia berjanji tak akan bermain dengan siapa saja yang melukai ibunya. Clara terlalu baik. Bukan aku yang menjaga Clara, tapi Clara yang menjagaku. 

Malam masih hangat, bahkan gerah seperti sebelumnya. Aku tak tahu bagaimana bicara pada bintang. Atau pada Clara. Atau pada Danu. Ah kalian, Danu Clara, tanpa kukatakan pun kalian tahu apa yang kurasa.