Malam terasa sangat dingin. Ditemani lolongan anjing dan
bau busuk sampah di ujung selokan. Angin berhembus melalui fentilasi jendela.
Sebagian ranting pohon berderik. Bernyanyi bersama. Nyanyian malam yang
menakutkan.
Aku dan Flo sedang
menghabiskan makan malam bersama. Di atas meja hanya ada semangkuk sereal
ditemani sebotol susu dingin.
Flo membuka matanya.
Lebar. Mata itu menerobos kegelapan malam yang selalu menghadirkan suasana
hantu berkeliaran. Hati Flo patah. Orang
yang ia cintai mematahkannya. Membuangnya bersama seonggok sampah di selokan.
Flo
terus berjalan diiringi malam yang sakit. Semilir angin menerpa rambutnya. Meniupkan aroma
kerinduan yang menusuk dadanya. Flo
sayang, lupakan kesedihan ini. Suara yang sama. Suara seseorang yang mencintai
aku dan Flo. Flo dan aku. Sementara aku hanya memandang mata Flo, tatapan yang
dingin dan kosong. Jika saja waktu bisa
ditarik mundur. Ketika kami hanya dua gadis kecil berkepang yang hidup bahagia.
Aku
dan Flo sepasang adik kakak yang selalu baik-baik saja. Keluarga kami cukup
bahagia. Aku mencintai Flo. Dan Flo mencintai aku. Meskipun toh tak pernah ada
orang lain yang mengisi kehidupan kami. Yakinlah, Aku dan Flo selalu baik-baik
saja.
Maafkan aku, apakah aku
bercerita terlalu cepat? Mungkin saatnya bagiku bercerita tentang keberadaanku
yang cukup aneh tinggal bersama Flo. Flo saja. Tak ada yang lain. Kemana orang
tua kami? Jangan tanyakan itu padaku. Tanyakan saja pada langit. Entah kemana
Ia membawanya. Ayah dan Ibu kami bercerai lima tahun lalu. Lalu ayah kami yang
orang belanda itu kembali ke negrinya. Kabar yang aku dengar, ia telah menikah
lagi dan memiliki anak. Sementara ibu kami. Seminggu setelah perceraian itu ibu
menghilang. Menyisakan secarik kertas yang mengatakan bahwa ia ingin pergi
untuk tenang.
Aku
rasa orang tua cukup egois. Pergi begitu saja. Meninggalkan dua anak yang tak
pernah mengenal dunia luar. Aku dan Flo tidak punya teman. Kami tinggal di
perkebunan besar dan menyewa belasan orang untuk merawat kami. Orang tua kami memilih
program Home schooling , alasannya
sekolah di kota cukup jauh. Selain itu, konon anak keturunan bangsawan tidak boleh bergaul dengan
anak pribumi.
Tapi
beberapa tahun kemudian keadaan kami memburuk. Perkebunan kami bangkrut. Dan kami harus menjual
sedikit demi sedikit tanah perkebunan untuk menyambung hidup kami. Pak Tom,
pengacara ayah yang selalu mengurusi semuanya. Aku tidak pernah tahu pasti
kondisi keuangan perkebunan ini, aku hanya mendengarnya dari Pak Tom. Sementara
ayah dan ibu kami menghilang. Sama sekali mereka tak mengirimkan kabar sejak
tiga tahun silam. Hanya tinggal aku dan Flo di rumah belanda yang cukup besar
ini. Aku dan Flo yang sangat kikuk terhadap dunia luar.
Pembantu
kami juga dipecat satu persatu. Kami tak sanggup lagi menggajinya. Hingga yang
terakhir. Bik Inah, yang rela hidup dengan kami tanpa digaji sepeserpun. Kondisi perkebunan kami memprihatinkan.
Semakin gersang. Dan tak sekoin pun kami hasilkan dari perkebunan. Terlebih
setelah Pak Tom jatuh sakit. Keuangan kami semakin memburuk.
“Non Flo, ayo dimakan Non...!”
Teriak Bik Inah.
“Iya Flo ayo makan,” kataku.
“Nggak kak, Flo nggak lapar,”
Jawab Flo. Air mata Flo menggenang dibawah kelopak matanya. Aku memeluk Flo.
Gadis berusia 14 tahun itu hanya terisak lirih di pelukanku.
Bik Inah memandang
kami. Ia tersenyum sabar melihat sikap manja Flo,
“Non, harus makan.. Non nggak
boleh nangis lagi, nggak boleh sedih. Disini ada Bibik, ada Non Clara yang
selalu nemenin Non Flo,” ujar Bik Inah.
Flo masih sedih.
Masih mendekam di pelukanku. Aku merendahkan posisiku. Hingga kini wajahku dan
Flo berada dalam posisi sejajar.
“Flo mau apa sekarang biar nggak
nangis?” tanyaku sambil menghapus butiran air di pipi Flo.
“Tidur yuk Kak...” jawab Flo.
Aku tersenyum.
“Mau kakak temenin?” Tanyaku.
Flo mengangguk. Dan
kami berjalan menuju ujung lorong. Tempat kamar Flo berada. Aku naik ke atas
ranjang. Flo mengikutiku. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di dekat tubuhku.
Dan aku memeluknya. Mendekap tubuhnya yang mungil dan dingin.
Mata Flo terpejam. Akhirnya, mata
itu berhenti juga mengeluarkan air. Aku belum bisa terlelap. Angin dingin di
luar masuk melalui celah jendela dan membuat aroma ketakutan kembali tersirat
di benakku. Jadi teringat peristiwa malam itu. Aku lupa tepatnya. Yang aku
ingat malam itu angin juga berhembus keras seperti malam ini.
Gerombolan laki-laki. Mereka mengetuk keras-keras pintu rumah
kami. Siapa yang datang semalam ini? Flo membukakan pintu dan ia sangat terkejut melihat beberapa orang laki
laki bertubuh besar menghadang pandangannya di depan pintu.
“Siapa kalian?”
Lelaki-lelaki itu tertawa cekikikan sembari menatap wajah Flo.
“Kami mau menagih
untang Bapak kamu.”
“Utang apa? Aku nggak
ngerti maksud kalian.” ucap Flo.
“Bapak kamu punya
utang banyak. Dan dia menyerahkan rumah ini beserta isinya sebagai jaminannya!”
Aku mengintai Flo dari ruang makan. Sepertinya, Flo dalam kondisi yang
buruk. Aku menghampiri Flo dan aku sangat terkejut melihat lelaki-lelaki
bertubuh kekar itu sedang berbicara dengan Flo.
“Tapi utang apa? Kami
sama sekali nggak ngerti.” Tanya Flo.
“Utang untuk
membesarkan kalian. untuk merawat perkebunan ini! Untuk memberi makan kalian!
Sudah jangan banyak tanya! Minggir! Saya mau masuk!”
“Nggak! Kalian nggak
boleh masuk!”
Flo menghadang di depan pintu. Gadis kecil itu tampak lebih berani malam ini. Sesaat kemudian Terdengar dua letupan senapan. Satu mengarah ke kepala
Flo satu mengarah ke dadaku. Tepat di jantungku.
Flo
mati. Dan aku menyusulnya. Bik
inah berlari ke ruang tamu dan Ia melihat tubuhku dan Flo terkapar di lantai. Bik Inah memeluk haru tubuh kami. Gerombolan lelaki itu tak berhenti
begitu saja. Mereka menembak kepala Bik Inah dan membuatnya hancur seketika.
Kami. Tiga mayat yang terkumpul di dalam ruang tamu. Bik Inah mati memeluk aku
dan Flo. Hanya dia yang menyayangi kami. Kemudian gerombolan lelaki itu menarik tubuh kami. Menyeret kami satu
persatu ke halaman belakang dan menguburkannya bersama para cacing dan tanah
basah.