Selasa, 28 Februari 2012

KETIKA AKHIR MAMPU BERCERITA

Malam terasa  sangat dingin. Ditemani lolongan anjing dan bau busuk sampah di ujung selokan. Angin berhembus melalui fentilasi jendela. Sebagian ranting pohon berderik. Bernyanyi bersama. Nyanyian malam yang menakutkan.
Aku dan Flo sedang menghabiskan makan malam bersama. Di atas meja hanya ada semangkuk sereal ditemani sebotol susu dingin.
Flo membuka matanya. Lebar. Mata itu menerobos kegelapan malam yang selalu menghadirkan suasana hantu berkeliaran. Hati Flo patah.  Orang yang ia cintai mematahkannya. Membuangnya bersama seonggok sampah di selokan.
                Flo terus berjalan diiringi malam yang sakit. Semilir angin menerpa rambutnya. Meniupkan aroma kerinduan yang menusuk dadanya. Flo sayang, lupakan kesedihan ini. Suara yang sama. Suara seseorang yang mencintai aku dan Flo. Flo dan aku. Sementara aku hanya memandang mata Flo, tatapan yang dingin dan kosong.  Jika saja waktu bisa ditarik mundur. Ketika kami hanya dua gadis kecil berkepang yang hidup bahagia.  
                Aku dan Flo sepasang adik kakak yang selalu baik-baik saja. Keluarga kami cukup bahagia. Aku mencintai Flo. Dan Flo mencintai aku. Meskipun toh tak pernah ada orang lain yang mengisi kehidupan kami. Yakinlah, Aku dan Flo selalu baik-baik saja.
Maafkan aku, apakah aku bercerita terlalu cepat? Mungkin saatnya bagiku bercerita tentang keberadaanku yang cukup aneh tinggal bersama Flo. Flo saja. Tak ada yang lain. Kemana orang tua kami? Jangan tanyakan itu padaku. Tanyakan saja pada langit. Entah kemana Ia membawanya. Ayah dan Ibu kami bercerai lima tahun lalu. Lalu ayah kami yang orang belanda itu kembali ke negrinya. Kabar yang aku dengar, ia telah menikah lagi dan memiliki anak. Sementara ibu kami. Seminggu setelah perceraian itu ibu menghilang. Menyisakan secarik kertas yang mengatakan bahwa ia ingin pergi untuk tenang.
Aku rasa orang tua cukup egois. Pergi begitu saja. Meninggalkan dua anak yang tak pernah mengenal dunia luar. Aku dan Flo tidak punya teman. Kami tinggal di perkebunan besar dan menyewa belasan orang untuk merawat kami. Orang tua kami memilih program Home schooling , alasannya sekolah di kota cukup jauh. Selain itu, konon anak keturunan bangsawan tidak boleh bergaul dengan anak pribumi.
Tapi beberapa tahun kemudian keadaan kami memburuk. Perkebunan kami bangkrut. Dan kami harus menjual sedikit demi sedikit tanah perkebunan untuk menyambung hidup kami. Pak Tom, pengacara ayah yang selalu mengurusi semuanya. Aku tidak pernah tahu pasti kondisi keuangan perkebunan ini, aku hanya mendengarnya dari Pak Tom. Sementara ayah dan ibu kami menghilang. Sama sekali mereka tak mengirimkan kabar sejak tiga tahun silam. Hanya tinggal aku dan Flo di rumah belanda yang cukup besar ini. Aku dan Flo yang sangat kikuk terhadap dunia luar.
Pembantu kami juga dipecat satu persatu. Kami tak sanggup lagi menggajinya. Hingga yang terakhir. Bik Inah, yang rela hidup dengan kami tanpa digaji sepeserpun.  Kondisi perkebunan kami memprihatinkan. Semakin gersang. Dan tak sekoin pun kami hasilkan dari perkebunan. Terlebih setelah Pak Tom jatuh sakit. Keuangan kami semakin memburuk.
                “Non Flo, ayo dimakan Non...!” Teriak Bik Inah.
                “Iya Flo ayo makan,” kataku.
                “Nggak kak, Flo nggak lapar,” Jawab Flo. Air mata Flo menggenang dibawah kelopak matanya. Aku memeluk Flo. Gadis berusia 14 tahun itu hanya terisak lirih di pelukanku.
Bik Inah memandang kami. Ia tersenyum sabar melihat sikap manja Flo,
                “Non, harus makan.. Non nggak boleh nangis lagi, nggak boleh sedih. Disini ada Bibik, ada Non Clara yang selalu nemenin Non Flo,” ujar Bik Inah.
Flo masih sedih. Masih mendekam di pelukanku. Aku merendahkan posisiku. Hingga kini wajahku dan Flo berada dalam posisi sejajar.
                “Flo mau apa sekarang biar nggak nangis?” tanyaku sambil menghapus butiran air di pipi Flo.
                “Tidur yuk Kak...” jawab Flo.
Aku tersenyum.
                “Mau kakak temenin?” Tanyaku.
Flo mengangguk. Dan kami berjalan menuju ujung lorong. Tempat kamar Flo berada. Aku naik ke atas ranjang. Flo mengikutiku. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di dekat tubuhku. Dan aku memeluknya. Mendekap tubuhnya yang mungil dan dingin.
                Mata Flo terpejam. Akhirnya, mata itu berhenti juga mengeluarkan air. Aku belum bisa terlelap. Angin dingin di luar masuk melalui celah jendela dan membuat aroma ketakutan kembali tersirat di benakku. Jadi teringat peristiwa malam itu. Aku lupa tepatnya. Yang aku ingat malam itu angin juga berhembus keras seperti malam ini.
                Gerombolan laki-laki. Mereka mengetuk keras-keras pintu rumah kami. Siapa yang datang semalam ini?  Flo membukakan pintu dan ia sangat terkejut melihat beberapa orang laki laki bertubuh besar menghadang pandangannya di depan pintu.
                “Siapa kalian?”
Lelaki-lelaki itu tertawa cekikikan sembari menatap wajah Flo.
                “Kami mau menagih untang Bapak kamu.”
                “Utang apa? Aku nggak ngerti maksud kalian.” ucap Flo.
                “Bapak kamu punya utang banyak. Dan dia menyerahkan rumah ini beserta isinya sebagai jaminannya!”
Aku mengintai Flo dari ruang makan. Sepertinya, Flo dalam kondisi yang buruk. Aku menghampiri Flo dan aku sangat terkejut melihat lelaki-lelaki bertubuh kekar itu sedang berbicara dengan Flo.
                “Tapi utang apa? Kami sama sekali nggak ngerti.” Tanya Flo.
                “Utang untuk membesarkan kalian. untuk merawat perkebunan ini! Untuk memberi makan kalian! Sudah jangan banyak tanya! Minggir! Saya mau masuk!”
                “Nggak! Kalian nggak boleh masuk!”
Flo menghadang di depan pintu. Gadis kecil itu tampak lebih berani malam ini. Sesaat kemudian Terdengar dua letupan senapan. Satu mengarah ke kepala Flo satu mengarah ke dadaku. Tepat di jantungku.
Flo mati. Dan aku menyusulnya. Bik inah berlari ke ruang tamu dan Ia melihat tubuhku dan Flo terkapar di lantai. Bik Inah memeluk haru tubuh kami. Gerombolan lelaki itu tak berhenti begitu saja. Mereka menembak kepala Bik Inah dan membuatnya hancur seketika. Kami. Tiga mayat yang terkumpul di dalam ruang tamu. Bik Inah mati memeluk aku dan Flo. Hanya dia yang menyayangi kami. Kemudian gerombolan lelaki itu menarik tubuh kami. Menyeret kami satu persatu ke halaman belakang dan menguburkannya bersama para cacing dan tanah basah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar