Kamis, 20 September 2018

ISTRI (satu)

Waktu masih menunjukkan 11.22. Aku masih melangkah entah... Kemana. Mencari teman sepertinya. Tapi tak kujumpai satupun. Kanan kiri adalah remaja mabuk cinta. Jika bukan, maka jomblo sekarat yang terpaku pada masa lalu. Entah, kemana semua teman. Kemana semua istri? Sibuk kah mereka mengganti popok bayi? Lalu keluar ke dunia yang sungguh terasa asing. 


Dipenuhi dengan remaja remaja yang mereka bilang, "alay". Remaja yang alay atau para istri yang sudah tetlalu kikuk dengan perubahan jaman. Para istri kemudian menjadi sangat posesif pada suami. Karena.. Hanya itu dunianya. Itu yang ada dikepalanya dari pagi siang malam. Hai istri, Sesungguhnya apa filosofi dari menikah? Menikah bukan pembodohan. Bukan pengucilan. Beruntunglah para istri yang masih bekerja, setidaknya ada pencapaian lain dalam hidupnya. Pencapaian yang fokusnya pada kemampuan diri. Kenapa setelah menikah merasa sepi? Padahal dulunya sendiri lalu kini berdua bersama suami. Atau bertiga berempat bersama anak. Sepi itu terjadi karena batasan yang mereka buat sendiri. Dunia ini terlalu besar. Terlalu lelah memaksa orang lain sependapat denganmu. Setelah menikah, percayalah akan banyak orang sok tau yang memaksakan pendapatnya padamu. Saat itu juga kau akan mengerti jika tidak semua orang yang lebih tua adalah orang yang lebih baik. Mereka hanya sok tau. Lalu memaksamu sama seperti mereka. 

Istri. Duniamu hiruk pikuk menyebalkan. Kau lebih, artimu lebih dari pendamping saja. Kau lebih dari itu. Kau bukan penjaga rumah, bukan pembantu, bukan baby sister. Kau lebih dari itu. 

Membacalah, belajarlah sesuatu, keluar rumah lah dengan berdandan rapi dan cantik. Banyak yang bilang, cantik seorang istri hanya untuk suami saja. Bagiku tidak, kecantikan itu bukan untuk suamimu saja. Tapi untuk dirimu sendiri. 

7 Years Old


Maafkan aku mengambil fotomu diam diam. Dari cafe yang dingin oleh AC terdengar samar-samar lagu ini:

7 Years-Lucas Graham

Once I was seven years old my momma told me
Go make yourself some friends or you'll be lonely
Once I was seven years old
It was a big big world, but we thought we were bigger
Pushing each other to the limits, we were learning quicker
By eleven smoking herb and drinking burning liquor
Never rich so we were out to make that steady figure
Once I was eleven years old my daddy told me
Go get yourself a wife or you'll be lonely
Once I was eleven years old
I always had that dream like my daddy before me
So I started writing songs, I started writing stories
Something about that glory just always seemed to bore me
'Cause only those I really love will ever really know me

Seperti sangat cocok mengiringi kebersamaan mereka.

Gadis kecil bermain catur bersama ayahnya. 
Lihat dirimu. Cantik. Masih menggunakan seragam merah putih. Usiamu tak lebih dari tujuh tahun. Tapi etah. Terasa seperti itu Menurutku. Kau dan ayahmu bermain catur. Kemana ibumu? Apakah Tengah menghela nafas sejenak sepertiku. Ayahmu tampak sibuk dengan smartphonenya sementara kamu sibuk berteriak , ‘yee aku menang’ padahal kamu bermain sendiri. Kamu tampak sangat berani.. Menghampiri mbak-mbak pelayan cafĂ© dan membayarkan bill nya. Kamu berani duduk di meja depan bar. Pasti kamu orang yang suka memperhatikan suatu proses atau suka bicara. Haha. 

Hai gadis kecil, ketahuilah. Masa masa terindah sebagai anak kecil tengah kau lalui. Jangan cepat dewasa. Dewasa lebih rumit dari kelihatannya. Bagaimana rasanya kopi sayang? Kulihat kau mencobanya dari gelas ayahmu. 
Aku jadi ingat dia yang kecil-anakku.
Dan dia yang sibuk bekerja untuk aku dan anak kecil itu. 

Akankah suatu hari nanti kalian akan keluar berdua seperti ini. Menghabiskan waktu untuk berdua pergi ke kedai kopi. Entah saat itu aku dimana. Semoga tengah sibuk menyelesaikan dateline buku buku atau sibuk bermain trading. Ah semoga.

Gadis kecil dan ayahnya, selamat siang. Jadilah anak yang baik nak.. Ayahmu pasti tak rela lelaki manapun meremukkan hatimu..

Senin, 03 September 2018

Setengah enam pagi

Sepiku dimulai sepagi ini . Betul. Setengah enam pagi. Belum ada air yang melewati tenggorokkanku, dan..kesepian seperti sudah memasuki jam tayang bagai pertunjukan bioskop yang telah dimulai. Aku tak tahu apa yang ingin kulakukan. Tak ada. Hidupku berteman dengan hampa hampa yang menyelimuti. Pagi. Setengah enamku tanpa tujuan. Tak bisa pergi kemanapun. Aku seperti terpenjara. Kenapa? Ah sudahlah lain kali kuceretikan padamu. Yang jelas aku harus menghadapi kesepian yang mengerikan. Lebih mengerikan dari film horor sekalipun.
 

Itu. Itu pemandanganpagiku yang kosong. Bangunan rumah yang belum jadi dihiasi langit pagi yang kesepian. 
Masih terasa sepi. Sepi yang aku sendiri tak tahu kapan bisa berakhir. Tidak setiap hari aku berbicara dengan orang lain. Mengerikan. Kebosanan yang tak bisa aku ungkapkan. Kesepian yang menakutkan sekaligus menyakitkan. Entahlah, Orang bilang hidup seperti roda. Semoga kesepian ini juga seperti roda. Semoga nanti nanti hidupku ramai. Dikelilingi orang oramg yang menyenangkan. Semoga nanti nanti tujuanku ada. Bukan menjalani hampa yang menyedihkan setiap hari.

Senin, 28 Mei 2018

MASA LALU AKU,


Aku mebuka-buka tulisan sampah di laptopku. Ada beberapa yang sudah menahun, kutulis lima sampai delapan tahun lalu. Ketika obsesiku menjadi penulis masih luar biasa. Beberapa tulisan tampak frustasi, sebagian besar tentang kehidupan pecandu narkoba, padahal demi tuhan aku tak pernah menyentuhnya. Lalu.. tentang perempuan hamil dan ditinggalkan oleh pacarnya menikah dengan orang lain, haha.. aku menertawakan bagaimana kesedihan masa lalu yang sedang trend menurutku. Beberapa tulisan tampak bagus, aku tak percaya jika perempuan berusia enam belas tahun yang menulisnya. Iya memang, aku sudah menulis sejak berusia sepuluh tahun.

Aku membuka apa apa saja yang tak pernah kuselesaikan namun tempat kutimbun seperti sampah di dalam kepala dan laptopku. Ingin menyelesaikannya? Tentu saja. Tapi aku seperti kehabisan waktu. Entah.. Aku seperti terlalu sibuk dengan entah apa yang menyibukkan.

Kucoba, kembali.. entah apakah bisa.

TIK tanpa TOK



Tik tok tik tok

Detik dimulai,
Mendekatlah Sophia. Tatap mataku. Rasakan kesendirianku. Lihat. Aku begitu kosong tanpamu. Jauh dan lunglai tanpa pelukanmu. Mendekatlah Sophia. Peluk aku. Aku saja jangan yang lain. Aku takut kehilanganmu Sophia. Aku takut jika aku kembali merasakan kekosongan yang menyakitkan.

Tiiikk…Toookk..Toook

Detik melambat. Kau tak mau menatapku. Hatiku terasa remuk tak berdaya. Waktu seolah terhenti. Hanyut dan larut dalam kesedihanku.
            “Sophiaa! Tatap mataku!” Aku membentak.
Tapi kau. Kau tetap dengan mata kosongmu itu. Mata kosong yang aku benci. Mata yang didalamnya tak ada sosok diriku lagi. Sophia! Kemana dirimu? Kemana dirimu yang DULU.

Tii…iiikk…Too okkk

Detik semakin kehilangan irama indahnya. Sophia kini merengkuh. Lunglai. Matanya kosong. Bibirnya menggigil. Sophia Takut? Tidak. Sebenarnya aku merasa sangat marah karena Sophia tak lagi mau menatapku. Tapi melihat Sophia seperti ini, hatiku runtuh.
“So..phiaa..” aku mencoba mengejah namanya.
Kuharap ia akan menatapku kali ini. Tapi tidak. Aku salah. Sophia tetap membisu dan air mataku mulai mencair.

Tik Tik Tik Tik Tik..

Detik seperti berjalan mundur. Aku terseret ke memori dulu. Ketika aku dan Sophia tertawa lepas mengitari jalan berkelok.
            “Aku suka tantangan” Kata Sophia.
Aku hanya tersenyum. Lalu Sophia menarik tanganku.
            “Mari ikut denganku..” Ajak Sophia.
            “Baiklah. Tapi, aku takut..” Jawabku.
            “Jangan takut. Aku yang akan memelukmu jika sesuatu menakutimu.”
Aku tersenyum.
            “Kau berjanji Sophia?”
            “Tentu”

Tiik Tookk Tiiikk Tok tok

Sophia. Sophia. Sophia. Nama yang indah bukan? Aku mencintaimu Sophia. Aku akan memberikan segalanya padamu asal kau tetap bersamaku. Asal kau tak menoleh pada yang lain. Asal kau tetap bersamaku SELAMANYA.
            Maafkan aku Sophia. Aku egois. Aku tak sanggup membagimu dengan yang lain. Aku takut membayangkan api cemburu yang akan melahapku hidup-hidup.

Tiii…..iiikk Tooo…ookk

Kini detik menyisakan waktu untuk aku merasa sedih. Kali ini hatiku benar-benar runtuh. Ketakutanku menjadi. Api cemburu itu benar-benar melahapku hidup-hidup. Ada lelaki yang akan meletakkan hatinya di hati Sophia. Padahal aku tak sanggup membagi Sophia dengan yang lain. Tapi jika aku dan Sophia bersama, aku yakin orang tua Sophia tak akan pernah bisa mengerti. Aku dan Sophia tak mungkin bersama.
            “Pergilah Sophia. Menikahlah dengan lelaki itu. Kelak kau akan memiliki anak-anak yang lucu. Dan jika salah satunya perempuan. Tentu ia akan secantik kau Sophia..”
Sophia memelukku. Membiarkan air mataku menganak sungai di bahunya.

Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok

Detik melangkah penuh ketakutan. Hari ini pernikahan Sophia. Aku mengumpulkan seluruh tenaga untuk berdiri di hadapan Sophia. Aku ingin melihat Sophia tercantik dalam hidupku. Sophia yang menggenakan gaun pengantin. Sophia yang lebih cantik dari malaikat..
            Waktu yang dinanti tiba. Perempuan cantik itu keluar dari peraduannya. Kecantikannya menebar ke segala arah. Semua mata memandangnya. Semua terpukau. Mereka bahagia. Sementara aku merasa sedih. Bukan hanya aku saja. Sophia juga merasa sedih.
Tak lama kemudian, lelaki itu bersanding dengan Sophia. Seperti raja dan ratu. Aku berusaha tersenyum. Tapi aku gagal. Air mataku meluber kemana mana. Beberapa orang disampingku menyadarinya. Aku ingin lari dan membawa Sophia pergi jauh dari tempat ini.Tapi itu tidak mungkin.
Sophia sayang, tahukah kau jika hatiku remuk ketika kau bersanding dengan lelaki itu? Aku seperti kehilangan nyawa. Aku kehilangan dirimu Sophia. Karena kau lah nyawa di dalam jiwaku.

Tikkk.. Hanya Tikk...

Detik kehilangan kesempurnaanya. Bunyinya hanya “tik” tanpa “tok”. Seperti aku tanpa Sophia.
Sophia. Sophia. Sophia. Semoga kau bahagia. Dimanapun kau berada nanti, bersama siapapun. Aku harap kau dapat selalu tersenyum dan bahagia. Ini berat Sophia. Melihatmu menikah sama seperti melihat seseorang merobek jantungku. Kemudian darah mengucur deras. Dan setiap tetesnya menangisi kepergianmu.
Aku tak ingin lagi berada disini. Aku lelah bermuka seolah semua baik-baik saja. Aku ingin menangis. Aku ingin menjatuhkan puluhan butiran asin di pipiku.
Aku beranjak dari gedung pernikahanmu Sophia. Kuharap kau tak melihat ketika aku meninggalkan tempat itu. Aku hanya ingin sendiri. Menyusuri jalan, yang selanjutnya akan terasa sepi tanpa kehadiranmu.
Aku terus melangkah gontai hingga ke persimpangan jalan raya. Aku ringkih Sophia. Aku membutuhkan pelukanmu sekarang. Tapi aku tahu, kau tak akan pernah memelukku lagi. Aku tetap melangkah namun sesuatu menghantamku dengan sangat keras. Sebuah truk bermuatan material menghantam tubuhku. Menimbulkan suara denyit rem yang diikuti dengan dentuman keras. Membuat tubuhku yang ringkih terpental cukup jauh. Kepalaku membentur aspal dengan sangat keras. Aku kehilangan nyawaku Sophia. Kemudian semua tamu pernikahanmu menatap ke arahku. Ada yang berlari menuju ragaku yang tergeletak di sisi jalan. Namun ada pula yang hanya terpaku di tempatnya. Sementara matamu menjelajah ke segala arah. Aku tahu apa yang kau cari. Kau mencariku Sophia? Raut cantikmu mulai panik ketika kau tak menjumpai wajahku di sudut manapun. Kau berlari. Menembus kerumunan orang-orang yang ada di hadapanmu. Kau menghampiri jasadku. Bibirmu bergetar. Dan ketika seseorang mencoba membuka koran yang menutupi kepalaku. Kau menemukan wajah yang kau cari Sophia. Jasad Itu aku. Kekasih yang selamanya hidup di hatimu.

Tok.. Tanpa Tik
 
Apa kabar Sophia? Masihkah kau menyimpan kenanganmu bersamaku di hatimu? Masihkah kau menyimpan tawa seperti saat kita melalui jalan berliku? Tuhan baru saja menceritakan aku tentang kematianku. Aku merasa takut. Tapi tuhan bilang, semuanya telah berlalu. Tuhan juga mengatakan padaku, jika kau bukan tak mau menatapku. Tapi kau tak mampu.

Ketika aku tak lagi ada di sampingmu,
kau akan tahu. Betapa aku mencintaimu.
Cinta yang tak pernah takhluk dengan keadaan.
Cinta yang selamanya ada di hatimu dan hatiku.
Clara. Sophia. 

MARTIN (My baby)


MARTIN
                Selamat pagi sayang. Apa yang sedang kau lakukan disana? Sudahkah pagi ini tuhan memberikanmu kekuatan untuk bergerak-gerak seperti kemarin? Aku harap tuhan segera memberikannya. Sebab, aku ingin segera merasakan kehidupanmu didalam tubuhku. Di rahimku.
                Kau adalah teman mungilku. Sahabat yang sebentar lagi akan menemani hidupku. Ku sebut kau sahabat. Sebab kau sangat baik padaku. Kau selalu ada disampingku. Disaat semua orang hanya bisa memaki dan meninggalkanku. Kau satu-satunya yang paling setia. Kau satu-satunya yang tak pernah memaki. Karna itu, aku sebut kau sahabat.
                Cepatlah keluar dari rahimku Martin. Aku ingin segera menunjukkanmu tentag birunya langit. Terangnya bintang. Dan segala sesuatu yang akan kau lihat nanti. Tapi tunggu,  apakah aku bercerita terlalu cepat? Sepertinya aku lupa memberitahumu tentang calon bayiku. Namanya Martin. Entah ia lelaki atau perempuan kelak akan ku panggil dia Martin. Martin. Ia adalah bayi yang sangat istimewa. Bayi yang menjadi menjadi separuh jiwaku. Bayi yang akan akan mendampingiku hingga kematian menjemputku.
                Aku selalu menunggu kelahiranmu sayang. Cepatlah kau temani ibumu yang sendiri ini. Lalu perutku bergerak-gerak. Aku tersenyum menyeringai. Kuanggap itu sebagai jawaban iya Martin,
                Tiba-tiba suara dari luar kamar mengusik telingaku,
                “Hy Mutia! Cepatlah kau gugurkan bayi itu! Sebelum ia makin besar, makin menyusahkan kita semua!”
Aku hanya diam mendengar ucapan ibuku.
                “Kau tuli? tak bisa kau dengar apa yang ibu kau katakan? Cepat gugurkan bayi itu lalu kau pindah ke jakarta dan lanjutkan sekolahmu di tempat pamanmu!”
Aku masih membisu. Menelan semua kesedihan dalam rongga mulutku. Ibu menyuruhku untuk membunuhmu sayang. Kuharap kau tak mendengarnya. Aku yakin air matamu meluber jika kau tahu apa yang terjadi di luar sini. Jangan menangis Martin. Aku tak akan melukaimu. Aku tak akan membiarkan seorangpun menyakitimu.
                “Mutia! Janganlah kau keras kepala. Kau tak punya suami! Kalau sampai bayimu itu lahir siapa yang akan menghidupi? Makan saja kau masih minta. Ijazah juga kau masih tamatan SMP. Mau kau kasih makan apa bayi kau itu?”
Ibu terus saja menyuruhku melakukan hal yang sama. Menggugurkan Martin. Aku tak mungkin melakukannya. Aku sangat mencintai Martin. Lebih baik aku yang mati daripada aku harus membuat Martin mati.
                “Mutia! Mutia!” Ibu menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku membukanya. Aku menjumpai tatapan ibu yang cemas dan marah.
                “Cepat Kau gugurkan bayi di perutmu itu!” Ucap Ibu tanpa belas kasih.
Air mataku mencair. Aku tak menyangka bila Ibu masih bersikeras juga untuk membunuh cucunya. Membunuh bayiku, Martin.
                “Tidak Bu!” Jawabku. Kali ini aku memberanikan diri untuk menatap mata Ibu yang sangat marah padaku.
                “Kenapa? Kau siap punya anak tapi tak ada bapaknya?”
                “Aku siap Bu, Aku tidak menggugurkan Martin, karena aku mencintai Martin.”
                “Cinta apa? Cinta yang menyusahkan hidupmu? Kalau kau punya anak di usia kau yang masih seumur jagung begini. Pastilah kau jadi Kere! Jadi gembel yang hidupnya susah!”
                “Hidup seseorang tak bisa diramal siapapun. Semua di tentukan Tuhan.”
                “Jangan sok suci kau sebut-sebut Tuhan kau! Kau saja hina dimata Tuhan!”
                “Apakah yang boleh menyebut Tuhan hanya orang suci? Apakah orang hina tidak boleh meyebut Tuhan?”
Air mataku menetes. Membasahi pipi yang lebam bekas tamparan ayah semalam.
                “Pandai kau sekarang bicara? Mau kau ditampar Ayahmu lagi? Mau kau mati bonyok digebukin orang tuamu sendiri? Sudah! Lekaslah bersiap! Lalu kau ikut ibu ke tempat yang bisa bikin perut buncit kau itu kempes!”
                “Tidak Bu! Aku tak akan menggugurkan Martin! Apapun alasannya tetap tidak. Aku lebih rela mati dari pada aku harus membunuh Martin!”
                “Keras kepala sekali kau! Cepatlah kau gugurkan! Mumpung perut kau itu masih tiga bulan!”
Aku menatap wajah ibu. Perlahan raut senduku memudar. Kini berganti menjadi senyum.
                “Apa ibu bilang? Tiga bulan? Ibu salah, Martin bukan tiga bulan di dalam perutku. Tapi enam bulan. Satu bulan lagi, Martin bisa lahir sebagai bayi prematur. Dan empat bulan lagi Martin akan lahir sebagai bayi normal. Bila Ibu masih bersikeras untuk menyuruhku menggugurkan Martin. Bukan Martin yang akan mati Bu, Tapi aku.”
Ibu kehilangan kata. Wajahnya memucat. Aku yakin di otak Ibu tengah berlarian sejuta kebingungan. Ibu tidak menginginkan kelahiran Martin. Tapi ibu juga tak sanggup merelakan jika sampai aku kehilangan nyawa ketika menggugurkan Martin.
                “Semua Ibu tak akan pernah rela anaknya mati. Seperti ibu tak merelakan kematianku. Dan aku yang tak merelakan kematian Martin.”

Rabu, 23 Mei 2018

RUMAH

Bagian 1

Ditemani dengan mie instan super lembek ku kali ini, masih dengan cerita aneh yang kali ini benar benar tak dapat ku mengerti. Apa maksud dibalik semua ini. Apa hikmahnya?

Sedih. Kacau. Bingung.  Allah tuhanku, yang benar saja aku harus tinggal berdekatan dengan tukang jagal itu. Dia sangat jahat. Masih lupa apa yang dia lakukan padaku dan clara dulu? Ingat saat clara diperutku dan aku tak berhenti menangis karenanya. Dia memotong tali plasenta Clara. Clara tidak bisa bernafas bahkan sesak. Clara tak bisa makan dan minum berhari hari. Clara bersedih. Lalu tukang jagal itu tak perduli. Justru aku yang disalahkannya. Katanya aku tak bisa menjaga Clara.  Padahal siang malam aku mendoakannya. Agar sedikit saja darah darinya yang mengalir untuk Clara. Aku benci tukang jagal itu. Demi tuhan, aku benci. 

Sudah. Aku sudah lelah menceritakan kejahatannya. Tanpa aku bilangpun rasanya Danu sudah mengerti. Siapa Danu? Siapa tukang jagal itu? Kujelaskan nanti. Aku benci mengakuinya. 

Tuhan tau, aku perempuan yang baik. Hanya saja jika sekali orang menyakiti aku bisa mengeras seperti batu selamanya. Padanya. Entah.. Aku tak mengerti. Kenapa.. Aku dan Clara hanya tinggal sepetak berjarak dari tukang jagal itu? Tuhan.. Apakah aku harus menghabiskan seumur hidup bersedih dan ketakutan? Clara menghiburku, tersenyum. Bicara panjang lebar yang intinya dia berjanji tak akan bermain dengan siapa saja yang melukai ibunya. Clara terlalu baik. Bukan aku yang menjaga Clara, tapi Clara yang menjagaku. 

Malam masih hangat, bahkan gerah seperti sebelumnya. Aku tak tahu bagaimana bicara pada bintang. Atau pada Clara. Atau pada Danu. Ah kalian, Danu Clara, tanpa kukatakan pun kalian tahu apa yang kurasa. 

Rabu, 14 Februari 2018

DESTA 2011 (Sesuatu Yang Belum Diceritakan)

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada suamiku Desta dan seseorang disana bernama Nana yang kini sudah sama sama berkeluarga. Nana menikah dengan Rasya. Sementara Desta adalah suamiku.

Hidup ini untuk bercerita. 

|Satu|
Teman baik Desta

Perkenalkan namaku Kirana. Ini tahun 2017 dan usiaku genap 23 tahun di bulan April lalu. Tahun ini aku menikah dengan laki-laki pilihan orang tuaku. Desta namanya. Entah apa yang membuat orang tuaku menikahkan aku cepat cepat begini. Mama dan Papa terlalu takut jika anaknya menjadi perawan tua. Terlebih, aku anak semata wayang. Padahal sejujurnya cita-citaku masih tinggi, sekolahku belum selesai tapi aku sudah bekerja. aku masih ingin bermain-main bersama teman-teman. Aku belum pernah ke Bromo sekalipun. Begitulah, terlebih lagi pekerjaanku sangat menyita waktu. Aku bekerja di sebuah pabrik rokok termama di kotaku. Tentu saja bukan bagian merokok, aku bekerja di bagian Auditor. Kerjaku mencacati pekerjaan rekan-rekan kerjaku yang lain. Menyebalkan. Mencari kesalahan orang lain. Sesungguhnya aku tidak terlalu suka dengan hal itu.

Berlanjut ke Desta. Laki-laki yang akan menikahiku di bulan September kelak. Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama. Dua tahun lalu.. Tapi tak pernah terbersit ingin menikah dengannya. Jujur saja kami teman yang baik. Aktifitas kami sebelum menikah selama dua tahun itu hanya nonton-makan-curhat. Sudah itu saja. Tak ada sesi genggaman tangan atau apapun seperti kawula muda berpacaran lainnya. Sekedar informasi, Desta memiliki beberapa mantan pacar yang aku tahu, karena dia menceritakannya satu satu. Entah apa tujuannya. Sebagai pendengar yang baik, karena dia bercerita sembari mentraktirku coklat kesukaaan yaaa mau tak mau aku harus mendengarkan. Dan agar terlihat sedikit nyambung, mau tak mau aku harus mencerna kata-katanya tentang siapa siapa saja yang ada dalam ceritanya. Jadi kamu tahu kan kenapa aku tak pernah berpikir akan menikah dengan Desta? Aku sudah bosan mendengar cerita tentang wanita wanitanya. 

Desta memang bekerja di perusahaan yang cukup bergengsi menurutku sekarang. Kenapa dulu tidak? Karena kebutuhan tidak banyak seperti saat ini. Tidak memikirkan beli rumah-box bayi-stroller-sembako-menabung. Dan karena aku tidak bergantung pada Desta. Urusan asuransi kesehatan-biaya makan-biaya hidup. (Karena saat ini aku sudah keluar dari tempatku bekerja, belum menemukan pekerjaan lain dan sibuk mengikuti Desta kemana saja) Saat itu hubunganku dan Desta hanyalah sebatas coklat gratis dan sesi curhat. Sudah itu saja.

Desta tak cukup baik menurutku. Ketika mengajakku jalan, dia tak hanya jalan denganku. Bahkan temannya sendiri yang memperlihatkan fotonya padaku. Ketika Desta mengajak seorang perempuan yang di gadang-gadangkannya sebagai calon istri. Entah dari mana temannya dapat foto itu. Tapi aku yakin Desta sendiri yang menceritakannya kepada Agung (nama teman Desta). Aku tidak cemburu. Itulah sebabnya aku bersikap biasa saja pada Desta. Karena awalnya kukira memang dia tak mau denganku, tidak naksir aku juga, aku juga ngga naksir dia, dia punya gadis yang disebut calon istri, aku masih sangat kecil, ah.. Tapi entahlah. Namanya jodoh akhirnya menikah.

Tapi lain hari kudengar Desta bersedih. Katanya tak jadi menikah dengan perempuan bernama Anis itu. Kata Desta, ternyata Anis sudah memiliki pacar. Orang tua Anis juga tidak terlalu menyukai Desta. Pacarnya sama seperti Desta. Suka mobil jeep yang dia bangga-banggakan selalu. Aku tak tahu apa bagusnya. Hehe. Bagiku mobil bagus adalah mobil yang bersih dan dingin. Aku tak perduli sebesar apa ban nya. Karena kurasa jalan di Indonesia sudah cukup beraspal. Jadi cukup dengan ban biasa saja sudah dapat berjalan dengan baik. Menurutku sih.. 

Lanjut lagi cerita tentang Anis, singkat cerita dia meninggalkan Desta dan memilih laki-laki bernama Cahyo yang ternyata sudah dipacarinya sejak lama.

Aku masih ingat sore itu, percakapan teman baik di Monopoli Cafe yang sekarang sudah jadi tempat cuci mobil. 

Wajah Desta ditekuk, setelah berkeluh kesah patah hatinya. Dengan jahatnya aku tertawa.

"Hahaha yaudah lah mas.. Namanya ngga jodoh.. Ya mau gimana lagi.."

Desta masih tampak sedih, lalu aku tepuk tepuk pundaknya. Tanda simpati.

"Mana sih anaknya? Lihat.." kataku.

Tak lama Desta mengeluarkan hpnya dan menunjukkan facebook perempuan bernama Anis itu..

"oh...ini.. Manis ya anaknya..tapi ya gak cantik cantik banget" kataku jujur. 

"Aku tuh sebelnya kenapa dia gak bilang dari awal kalau bapaknya nggak suka sama aku?.. Kenapa ngga bilang dari awal kalau dia sudah punya pacar.."

Aku berpikir sejenak.

"Ya ngga tau mas.. Mungkin kamu nggak tanya.. Tapi kok kamu segitunya amat sakit atinya?".. 

Desta masih tampak gundah gulana tak menjawab.

"Ya nanti cari yang lain.. Kan banyak yang cantik dan mau sm kamu, kan kamu udah siap nikah.." Hiburku.

Desta tetap gundah.

"Kayaknya kamu itu memang cuma mau sama apa yang kamu pingin,, jadi kalo nggak yang bener-bener kamu pingin mau secantik apapun kamu juga biasa aja..."

Desta mengerutkan alisnya.

"Udah ah, malu sama brewok kalau galau" kataku sambil menunjuk brewok di wajah Desta.

Desta tersenyum sedikit.

Lalu setelah itu kutahu Desta mendekati perempuan perempuan lain. Dan secara menakjubkan dia selalu menceritakannya padaku. 
***

Benar. Kurasa Desta adalah laki-laki yang tak cukup baik.
Ada lagi cerita tentang perempuan yang memiliki panggilan yang sama sepertiku. 
"Nana.." nama lengkapnya Priza Marina.

Tak terlalu ambil pusing dengan nama yang sama sepertiku karena aku hanya temannya, 

Tapi tahukah? Ini sudah tiga tahun sejak pertemuanku dengannya. Sejak patah hati patah hati yang dia ceritakan. Tahukah? Dia tak pernah memanggilku dengan nama yang sama sepertimu. Padahal itu juga namaku. Tak perduli semua teman-teman kuliahku, teman-teman kerjaku mengenalku dengan nama itu. Tak perduli aku suka dengan nama itu. Dia tak perduli, lebih baik dia panggil "Sayang" atau "Mama" sekarang. Bahkan, dia memperkenalkan aku pada keluarganya juga menggunakan nama Kirana. Dan berlanjut semua keluarganya memanggilku begitu. Sempat kutanya, kenapa tak pernah bisa memanggilku Nana? "Karena itu nama pemberian orang tuaku" begitu jawabnya. 

Sebagai teman baik yang memiliki kemampuan mendengar berjam-jam. Aku tetap tak begitu paham dengan sakit hati yang pernah Desta rasakan kepada Nana. Seperti laki-laki pada umumnya, pandai menyembunyikan luka-atau tak pandai bercerita karena ditelan gengsi. Awalnya aku tak tahu jika sakit hatinya yang dulu itu sudah menelan bulat bulat kepribadiannya.

Tidak. Kau tak perlu bercerita tentang sakit hatimu. Aku tahu apa yang merubahmu. Aku tahu bagaimana kau pernah terluka tanpa pernah kau ucap sekalipun. Aku tahu.