MARTIN
Selamat
pagi sayang. Apa yang sedang kau lakukan disana? Sudahkah pagi ini tuhan
memberikanmu kekuatan untuk bergerak-gerak seperti kemarin? Aku harap tuhan
segera memberikannya. Sebab, aku ingin segera merasakan kehidupanmu didalam
tubuhku. Di rahimku.
Kau
adalah teman mungilku. Sahabat yang sebentar lagi akan menemani hidupku. Ku
sebut kau sahabat. Sebab kau sangat baik padaku. Kau selalu ada disampingku.
Disaat semua orang hanya bisa memaki dan meninggalkanku. Kau satu-satunya yang
paling setia. Kau satu-satunya yang tak pernah memaki. Karna itu, aku sebut kau
sahabat.
Cepatlah
keluar dari rahimku Martin. Aku ingin segera menunjukkanmu tentag birunya
langit. Terangnya bintang. Dan segala sesuatu yang akan kau lihat nanti. Tapi tunggu, apakah aku bercerita terlalu cepat? Sepertinya
aku lupa memberitahumu tentang calon bayiku. Namanya Martin. Entah ia lelaki
atau perempuan kelak akan ku panggil dia Martin. Martin. Ia adalah bayi yang
sangat istimewa. Bayi yang menjadi menjadi separuh jiwaku. Bayi yang akan akan
mendampingiku hingga kematian menjemputku.
Aku
selalu menunggu kelahiranmu sayang. Cepatlah kau temani ibumu yang sendiri ini.
Lalu perutku bergerak-gerak. Aku tersenyum menyeringai. Kuanggap itu sebagai jawaban iya Martin,
Tiba-tiba
suara dari luar kamar mengusik telingaku,
“Hy
Mutia! Cepatlah kau gugurkan bayi itu! Sebelum ia makin besar, makin
menyusahkan kita semua!”
Aku hanya diam mendengar ucapan
ibuku.
“Kau
tuli? tak bisa kau dengar apa yang ibu kau katakan? Cepat gugurkan bayi itu
lalu kau pindah ke jakarta dan lanjutkan sekolahmu di tempat pamanmu!”
Aku masih membisu. Menelan semua
kesedihan dalam rongga mulutku. Ibu
menyuruhku untuk membunuhmu sayang. Kuharap kau tak mendengarnya. Aku yakin air
matamu meluber jika kau tahu apa yang terjadi di luar sini. Jangan menangis
Martin. Aku tak akan melukaimu. Aku tak akan membiarkan seorangpun menyakitimu.
“Mutia!
Janganlah kau keras kepala. Kau tak punya suami! Kalau sampai bayimu itu lahir
siapa yang akan menghidupi? Makan saja kau masih minta. Ijazah juga kau masih
tamatan SMP. Mau kau kasih makan apa bayi kau itu?”
Ibu terus saja menyuruhku
melakukan hal yang sama. Menggugurkan Martin. Aku tak mungkin melakukannya. Aku
sangat mencintai Martin. Lebih baik aku yang mati daripada aku harus membuat
Martin mati.
“Mutia!
Mutia!” Ibu menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku membukanya. Aku menjumpai
tatapan ibu yang cemas dan marah.
“Cepat
Kau gugurkan bayi di perutmu itu!” Ucap Ibu tanpa belas kasih.
Air mataku mencair. Aku tak
menyangka bila Ibu masih bersikeras juga untuk membunuh cucunya. Membunuh
bayiku, Martin.
“Tidak
Bu!” Jawabku. Kali ini aku memberanikan diri untuk menatap mata Ibu yang sangat
marah padaku.
“Kenapa?
Kau siap punya anak tapi tak ada bapaknya?”
“Aku
siap Bu, Aku tidak menggugurkan Martin, karena aku mencintai Martin.”
“Cinta
apa? Cinta yang menyusahkan hidupmu? Kalau kau punya anak di usia kau yang
masih seumur jagung begini. Pastilah kau jadi Kere! Jadi gembel yang hidupnya
susah!”
“Hidup
seseorang tak bisa diramal siapapun. Semua di tentukan Tuhan.”
“Jangan
sok suci kau sebut-sebut Tuhan kau! Kau saja hina dimata Tuhan!”
“Apakah
yang boleh menyebut Tuhan hanya orang suci? Apakah orang hina tidak boleh
meyebut Tuhan?”
Air mataku menetes. Membasahi pipi
yang lebam bekas tamparan ayah semalam.
“Pandai
kau sekarang bicara? Mau kau ditampar Ayahmu lagi? Mau kau mati bonyok
digebukin orang tuamu sendiri? Sudah! Lekaslah bersiap! Lalu kau ikut ibu ke
tempat yang bisa bikin perut buncit kau itu kempes!”
“Tidak
Bu! Aku tak akan menggugurkan Martin! Apapun alasannya tetap tidak. Aku lebih
rela mati dari pada aku harus membunuh Martin!”
“Keras
kepala sekali kau! Cepatlah kau gugurkan! Mumpung perut kau itu masih tiga
bulan!”
Aku menatap wajah ibu. Perlahan
raut senduku memudar. Kini berganti menjadi senyum.
“Apa
ibu bilang? Tiga bulan? Ibu salah, Martin bukan tiga bulan di dalam perutku.
Tapi enam bulan. Satu bulan lagi, Martin bisa lahir sebagai bayi prematur. Dan
empat bulan lagi Martin akan lahir sebagai bayi normal. Bila Ibu masih
bersikeras untuk menyuruhku menggugurkan Martin. Bukan Martin yang akan mati
Bu, Tapi aku.”
Ibu kehilangan kata. Wajahnya
memucat. Aku yakin di otak Ibu tengah berlarian sejuta kebingungan. Ibu tidak
menginginkan kelahiran Martin. Tapi ibu juga tak sanggup merelakan jika sampai
aku kehilangan nyawa ketika menggugurkan Martin.
“Semua
Ibu tak akan pernah rela anaknya mati. Seperti ibu tak merelakan kematianku.
Dan aku yang tak merelakan kematian Martin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar