Senin, 28 Mei 2018

MARTIN (My baby)


MARTIN
                Selamat pagi sayang. Apa yang sedang kau lakukan disana? Sudahkah pagi ini tuhan memberikanmu kekuatan untuk bergerak-gerak seperti kemarin? Aku harap tuhan segera memberikannya. Sebab, aku ingin segera merasakan kehidupanmu didalam tubuhku. Di rahimku.
                Kau adalah teman mungilku. Sahabat yang sebentar lagi akan menemani hidupku. Ku sebut kau sahabat. Sebab kau sangat baik padaku. Kau selalu ada disampingku. Disaat semua orang hanya bisa memaki dan meninggalkanku. Kau satu-satunya yang paling setia. Kau satu-satunya yang tak pernah memaki. Karna itu, aku sebut kau sahabat.
                Cepatlah keluar dari rahimku Martin. Aku ingin segera menunjukkanmu tentag birunya langit. Terangnya bintang. Dan segala sesuatu yang akan kau lihat nanti. Tapi tunggu,  apakah aku bercerita terlalu cepat? Sepertinya aku lupa memberitahumu tentang calon bayiku. Namanya Martin. Entah ia lelaki atau perempuan kelak akan ku panggil dia Martin. Martin. Ia adalah bayi yang sangat istimewa. Bayi yang menjadi menjadi separuh jiwaku. Bayi yang akan akan mendampingiku hingga kematian menjemputku.
                Aku selalu menunggu kelahiranmu sayang. Cepatlah kau temani ibumu yang sendiri ini. Lalu perutku bergerak-gerak. Aku tersenyum menyeringai. Kuanggap itu sebagai jawaban iya Martin,
                Tiba-tiba suara dari luar kamar mengusik telingaku,
                “Hy Mutia! Cepatlah kau gugurkan bayi itu! Sebelum ia makin besar, makin menyusahkan kita semua!”
Aku hanya diam mendengar ucapan ibuku.
                “Kau tuli? tak bisa kau dengar apa yang ibu kau katakan? Cepat gugurkan bayi itu lalu kau pindah ke jakarta dan lanjutkan sekolahmu di tempat pamanmu!”
Aku masih membisu. Menelan semua kesedihan dalam rongga mulutku. Ibu menyuruhku untuk membunuhmu sayang. Kuharap kau tak mendengarnya. Aku yakin air matamu meluber jika kau tahu apa yang terjadi di luar sini. Jangan menangis Martin. Aku tak akan melukaimu. Aku tak akan membiarkan seorangpun menyakitimu.
                “Mutia! Janganlah kau keras kepala. Kau tak punya suami! Kalau sampai bayimu itu lahir siapa yang akan menghidupi? Makan saja kau masih minta. Ijazah juga kau masih tamatan SMP. Mau kau kasih makan apa bayi kau itu?”
Ibu terus saja menyuruhku melakukan hal yang sama. Menggugurkan Martin. Aku tak mungkin melakukannya. Aku sangat mencintai Martin. Lebih baik aku yang mati daripada aku harus membuat Martin mati.
                “Mutia! Mutia!” Ibu menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku membukanya. Aku menjumpai tatapan ibu yang cemas dan marah.
                “Cepat Kau gugurkan bayi di perutmu itu!” Ucap Ibu tanpa belas kasih.
Air mataku mencair. Aku tak menyangka bila Ibu masih bersikeras juga untuk membunuh cucunya. Membunuh bayiku, Martin.
                “Tidak Bu!” Jawabku. Kali ini aku memberanikan diri untuk menatap mata Ibu yang sangat marah padaku.
                “Kenapa? Kau siap punya anak tapi tak ada bapaknya?”
                “Aku siap Bu, Aku tidak menggugurkan Martin, karena aku mencintai Martin.”
                “Cinta apa? Cinta yang menyusahkan hidupmu? Kalau kau punya anak di usia kau yang masih seumur jagung begini. Pastilah kau jadi Kere! Jadi gembel yang hidupnya susah!”
                “Hidup seseorang tak bisa diramal siapapun. Semua di tentukan Tuhan.”
                “Jangan sok suci kau sebut-sebut Tuhan kau! Kau saja hina dimata Tuhan!”
                “Apakah yang boleh menyebut Tuhan hanya orang suci? Apakah orang hina tidak boleh meyebut Tuhan?”
Air mataku menetes. Membasahi pipi yang lebam bekas tamparan ayah semalam.
                “Pandai kau sekarang bicara? Mau kau ditampar Ayahmu lagi? Mau kau mati bonyok digebukin orang tuamu sendiri? Sudah! Lekaslah bersiap! Lalu kau ikut ibu ke tempat yang bisa bikin perut buncit kau itu kempes!”
                “Tidak Bu! Aku tak akan menggugurkan Martin! Apapun alasannya tetap tidak. Aku lebih rela mati dari pada aku harus membunuh Martin!”
                “Keras kepala sekali kau! Cepatlah kau gugurkan! Mumpung perut kau itu masih tiga bulan!”
Aku menatap wajah ibu. Perlahan raut senduku memudar. Kini berganti menjadi senyum.
                “Apa ibu bilang? Tiga bulan? Ibu salah, Martin bukan tiga bulan di dalam perutku. Tapi enam bulan. Satu bulan lagi, Martin bisa lahir sebagai bayi prematur. Dan empat bulan lagi Martin akan lahir sebagai bayi normal. Bila Ibu masih bersikeras untuk menyuruhku menggugurkan Martin. Bukan Martin yang akan mati Bu, Tapi aku.”
Ibu kehilangan kata. Wajahnya memucat. Aku yakin di otak Ibu tengah berlarian sejuta kebingungan. Ibu tidak menginginkan kelahiran Martin. Tapi ibu juga tak sanggup merelakan jika sampai aku kehilangan nyawa ketika menggugurkan Martin.
                “Semua Ibu tak akan pernah rela anaknya mati. Seperti ibu tak merelakan kematianku. Dan aku yang tak merelakan kematian Martin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar